Bojonegoro.com – Perjalanan cerita sejarah Kota Bojonegoro tidak terlepas dari keberadaan Kerupuk Klenteng, mungkin tidak secara langsung berkaitan namun kerupuk Klenteng memiliki sejarah tersendiri yang ikut mewarnai cerita sejarah Kota Migas ini.
Masyarakat Bojonegoro mengenal makanan ini dengan sebutan Kerupuk Klenteng, karena lokasi tempat produksi berada di timur Klenteng Hok Swie Bio yang berada di Jalan Jaksa Agung Suprapto, Bojonegoro.
Sebagian masyarakat menyebutnya kerupuk bang-jo atau abang ijo. Karena kerupuk tersebut identik dengan warna putih, hijau, merah dan kuning.
Kerupuk klenteng tak sekedar produk kuliner yang hanya dilihat dari sisi ekonomi semata, Namun kerupuk Klenteng ini mempunyai kisah yang jauh lebih kaya dari sekedar makanan yang bernama kerupuk. Kisah yang mengiringi cerita ini menggambarkan pergulatan hidup keluarga Tionghoa di Bojonegoro, perpaduan budaya Jawa, Eropa dan Tionghoa sendiri.
Menurut Anton Indarno, generasi ke-empat sebagi pemilik Kerupuk Klenteng Rasa Asli, bermula di tahun 1929, dimana Karasidenan Bojonegoro dipimpin oleh Residen C. E Croes. Kabupaten Bojonegoro sendiri dipimpin oleh Bupati Raden Adipati Aryo Kusumo Adinegoro, disebutkan tahun 1900-1930 kondisi perekonomian Bojonegoro saat itu terbilang membaik.
Dengan diberlakukannya politik etis oleh Pemerintah Hindia Belanda, banyak sekolah yang didirikan dan beberapa bank didirikan untuk mengucurkan kredit kepada pelaku usaha kecil.
Adalah pasangan suami istri Tan Tjian Liem dan Oei Hay Nio merintis usaha kerupuk tradisional yang memiliki rasa khas yaitu gurih alami.
Sebelum memutuskan membuka usaha produksi kerupuk, Tan Tjian Liem bersama dua rekannya sempat belajar membuat kerupuk ke Sidoarjo. Setelah dirasa mampu membuat kerupuk, kemudian mereka membuka usaha dalam bentuk kongsi. Namun kongsi mereka tak tahan lama alias bubar.
“Tan Tjian Liem akhirnya memutuskan untuk kembali ke Bojonegoro sembari memproduksi kerupik sendiri. Ia juga kulakan dari kawasan Kapasari, Surabaya karena kerupuk yang diproduksi belum bisa banyak, sementara permintaan waktu itu sudah lumayan tinggi, ulas Anton Indarno.
Menurut Anton, dahulu peralatan yang digunakan untuk produksi kerupuk terbilang cukup sederhana. Diantaranya wajan berukuran sedang dari tembaga, sebuah guci untuk tempat penyimpanan garam dan alat pres untuk membentuk kerupuk yang digerakkan oleh tenaga manusia. Seiring berjalannya waktu dan atas kegigihan pasangan suami istri ini, usaha yang dirintis Tan Tjian Liem terus berjalan dan berkembang
Pada masa itu, rumah besar bergaya arsitektur Eropa itu sudah berdiri, dimana tempat produksi kerupuk berada di sisi kanan bagian belakang rumah, dulunya adalah gudang klobot yang dikelola oleh keluarga, hingga kini bangunan itu masih kokoh berdiri dan dihuni oleh keluarga Anton
Setelah generasi pertama, usaha kerupuk kemudian diteruskan oleh Tan Lan Nio yang bersuamikan Njoo Hong Liat. Kerupuk klenteng pun makin dikenal masyarakat.
Saat agresi militer Belanda kedua di tahun 1948-1949 rumah produksi kerupuk ini menjadi tempat pengungsian warga.
Pada masa itu, para pedagang kerupuk dari daerahnya masing-masing mengayuh sepeda untuk kulakan kerupuk. Sebagian besar berasal dari luar Kota Bojonegoro, mereka biasanya sampai sore lalu bermalam.
“Keesokan harinya mereka kembali ke daerahnya sambil membawa kerupuk dengan jumlah banyak. Bahkan antara bakul dan pemilik membaur sudah selayaknya keluarga besar, karena saking ramenya rumah, dari seringnya ketemu dan membaur banyak pekerja yang menemukan jodohnya saat berada di pabrik kerupuk klenteng, Ungkap Anton.
Dahulu cara menjual Kerupuk Klenteng terbilang cukup unik. Kerupuk selain dijual dengan wadah plastik, juga direntengi dan diberi lubang-lubang kecil. Kemudian dimasuki tali yang terbuat dari gedebok pisang kering/tali daun pandan, dan digantung di toko-toko untuk dijual kepada konsumen.
“Namun tetap memiliki ketahanan atau tidak melempem, bedanya kerupuk dahulu dan sekarang. Selain itu cara lain dibungkus dengan daun jati, marena pasokan daun jati dahulu cukup melimpah,” tutur generasi ke-empat pemiliki Kerupuk Klenteng Rasa Asli.
Di masa selanjutnya, kerupuk dibungkus kertas koran. Barulah di tahun 1978 bungkus diganti dengan plastik, penjualan kerupuk klenteng pun berbeda dengan sistem sekarang.
“Awalnya menggunakan sistem teban, 1 teban seperti 5 biji, kemudian di tahun 1983 cara menjual diubah menjadi sistem timbangan. Apapun yang terjadi bisnis kerupuk klenteng rasa asli harus terus berjalan, ini membuktikan bahwa kuliner Bojonegoro makin digemari masyarakat luas,” paparnya.
Setelah dipegang Tan Lan Nio, usaha kerupuk kemudian dilanjutkan oleh Suyanto yang merupakan Ayah dari Anton Indarno. Suyanto merupakan sembilan bersaudara dan mengurus roda usaha kerupuk klenteng hingga tahun 2012.
“Sepulang dari Surabaya saya kembali ke Bojonegoro mengurus usaha turun-temurun kerupuk. Karena memang eranya digital, kemudian inisiatif mengambil beberapa langkah diantaranya membuat logo dan mematenkan namanya,” cerita Anton.
Sebagai upaya lebih menarik konsumen kini packaging kerupuk di desain semenarik mungkin, dan sebagai pembuktian kualitas kuliner khas Bojonegoro ini memutuskan untuk dilakukan penelitan di laboratorium Sucofindo dan mengantongi sertifikat halal.
Setalah melalui perjalanan panjang perjuangan pendahulunya, di era modern serba digital, dan pengaruh besar media sosial, kerupuk klenteng berinovasi dengan langkah dengan membangun branding di beberapa sosial media, dan saat ini masyarakat luas bahkan dari luar kabupaten bojonegoro bisa mendapatkan kerupuk klenteng rasa asli dengan mudah.
Tanggal 18 Maret kemarin, kerupuk klenteng genap berusia 93 tahun, semoga kedepannya kami masih tetap bisa eksis menyuguhkan yang terbaik untuk masyarakat Bojonegoro, tutup Anton.

Lasmono
26 Maret 2022 at 3:33 pm
Aku sangat suka sekali dengan jrupuk klenteng khas Bojonegoro hingga kini
Walau sudah tinggal dikota Sidoarjo selama 25 tahun
Kalok pulang kampung tetap mencarimu Krupuk Klentheng BangJo
Semoga tetap mempertahankan rasa aslinya dan tetap menjadi idola kuliner Bojonegoro
Selamat dan Sukses Selalu
Ludvi Agus
28 Maret 2022 at 9:13 am
Iya pak . Legend..
Sekarang ada buka di Surabaya katanya. Bisa DO.