Bojonegoro.com – Wito Adi Sucipto (44)
Tenaga Kesehatan yang berdinas di RSUD Sosodoro Djatikusumo Bojonegoro setiap harinya berkutat dengan dunia medis, ternyata juga piawai memainkan wayang kulit, selain berprofesi sebagai tenaga kesehatan, Pria ramah ini juga menekuni dunia seni, khususnya wayang kulit dan karawitan, maka sebutan sebagai Dalang kini tersematkan pada diri bapak 2 anak ini.
Wito Adi Sucipto, adalah lulusan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) tahun 1998, kini berdinas di RSUD Sosrodoro Djatikusumo Bojonegoro, mengawali karir menjadi tenaga sukarelawan atau THL hingga diangkat menjadi PNS sampai sekarang
Ditemui dirumahnya di desa Setren, kecamatan Ngasem. Bojonegoro, Ki Wito Adi Sucipto, begitu orang memanggilnya bertutur ” Saya tertarik di dunia pedalangan sejak saya masih kecil, setiap ada pagelaran wayang kulit didesa saya tidak pernah absen untuk menontonnya, ucap Wito mengawali ceritanya.
Berawal dari suka itu saya ingin belajar mendalang, namun tidak tahu mesti kepada siapa, pucuk dicinta ulam tiba di tahun 2000, saya ketemu dengan Pak Soedjoko Rahardjo, masyarakat Bojonegoro mengenalnya dengan sebutan pak Raden, yang ternyata seorang dalang dan ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Bojonegoro dari perkenalan itu saya diajak untuk berlatih mendalang disanggarnya pak Djoko, Yaitu sanggar Widoro kandang, dan mulailah saya belajar memainkan wayang, suluk, nembang dan menabuh gamelan.
Hingga akhirnya pada tahun 2002, atas dorongan dan bimbingan Pak Djoko saya diminta untuk Pentas mendalang, pentas pertama di saya waktu itu di desa Boureno, Bojonegoro.
Kini, Wito Adi Sucipto telah menjadi seorang dalang yang cukup disegani diantara dalang dalang lainnya, namanya cukup terkenal berjajar dengan nama-nama dalang pendahulunya, Job mendalangnya juga terhitung lumayan, selama ini Wito mengaku telah melakukan pementasan wayang kulit selain di Bojonegoro, juga pernah mendalang di beberapa kota tetangga, seperti Blora, Tuban, Nganjuk dan Surabaya, umumnya diminta orang yang lagi punya hajat atau sedekah bumi (manganan) di desa.

Ki Wito Adi Sucipto bersama istri dan ke 2 anaknya dalam sebuah acara di wisata khayangan api
Ayah dari Anindya Rahma Izzati, dan
Kanaka Rozaq ini pernah mendapatkan penghargaan 10 penyaji terbaik dalam ajang Festival pedalangan tingkat Jawa timur Tahun 2012, 10 penyaji terbaik mendapat kesempatan pentas di Taman Budaya Surabaya, itu menjadi pengalaman yang tak mungkin terlupakan, ungkapnya.
Ditanya awak media bojonegoro.com siapa dalang yang menjadi idolanya, Wiro menjawab, Ki Purbo Asmoro, dari Surakarta, namun untuk menambah ilmu dan referensi semua dalang dan pementasan wayang kulit saya mengikutinya, terang Wito.
Guna menunjang karir menjadi seorang dalang, kini Wito mendirikan Sanggar Tirta Wening, yang menggarap karawitan pedalangan dan campursari.
Dari aktifitas sanggar Tirta wening itulah Wiratama anak ke 2 nya mulai tertarik belajar “njogetne” wayang, Alhamdulillah Wiratama yang baru duduk di 3 SD sudah mulai suka belajar mendalang, lega rasanya memiliki penerus, ungkap Wito.
Memiliki Istri yang juga sebagai tenaga pengajar lebih memudahkan Wito dalam mendidik 2 anaknya, semoga semua berjalan sesuai rencana, saya tidak pernah memaksa anak saya belajar mendalang, mungkin suara gamelan sudah akrab sejak dari rahim ibunya jadi anak saya tanpa dipaksa sudah tergerak hatinya untuk belajar mendalang, jelas Wito.
Kalau dilihat dari silsilah leluhurnya, tak heran memang jika Wito dan anaknya mengalir darah seni mengingat Wito sebenarnya masih keturunan Empu Korgan dari desa Tobo Purwosari, yang konon adalah seorang empu yang keris yang juga seorang dalang.
Di akhir wawancara Ki Wito menyampaikan, “dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya terkhusus kepada Almarhum Ki Soedjoko Rahardjo karena jasa beliau saya pertama kali belajar mendalang dan semua orang yang telah menghantarkan saya pada posisi sekarang ini, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, dan saya juga berharap Pandemi covid-19 segera berakhir, agar kita semua bisa berkaktifitas dan berkesenian secara normal kembali, pungkas Wito.
